Tuesday, June 19, 2007

Industri Software Lokal Di Ambang Kehancuran?

Maraknya pembajakan berdampak sangat besar terhadap industri software lokal. Pelaku industri di sektor ini menilai jika pembajakan tidak ditanggulangi lama-lama industri software lokal akan hancur.

Hal itu diungkapkan Indra Sosrodjojo, direktur Andal Software sebagai salah satu pengembang software lokal di sela-sela seminar hak kekayaan intelektual (HKI) di US Commercial Service, Kamis petang (24/5/2007).

Menurut Indra, pembajakan marak artinya industri software lokal tidak bisa bersaing dengan software bajakan yang berharga Rp 15.000 mengingat biaya produksi yang tinggi. "Dampaknya industri software lokal tidak berkembang dan lama-lama bisa hancur," sesal Indra kepada beberapa wartawan.

Ia memaparkan, dari sekitar 300 perusahaan teknologi informasi (TI) yang berkecimpung di pasar Indonesia hanya terdapat kurang dari 10 perusahaan yang bermain ke dalam industri produk TI seperti Andal Software. "Dari jumlah tersebut berarti pasar ini dianggap tidak menarik padahal market size-nya lumayan besar," jelasnya.

Jika pun ada, perusahaan tersebut harus mempunyai strategi khusus agar bisa bertahan di segmen pasar ini, seperti mengubah target pasar mereka atau cara lainnya, Indra menambahkan.

"Dulu waktu awal saya masuk ke bisnis ini berharap harga murah jumlah pembeli banyak. Tetapi itu tidak terjadi, karena volumenya segitu-gitu saja jadi perkembangannya susah. Jadi saya masuk ke software untuk enterprise yang kuantitasnya kecil tapi harganya besar dan itu cukup berhasil sehingga perusahaan bisa bertahan," ungkapnya.

Kaburnya Para Pakar

Kondisi itu diperparah dengan berkurangnya para pakar pengembang software tanah air untuk berkarya di dalam negeri. Sehingga, jika para ahli tidak ada pelaku industri tidak bisa membuat software yang bagus untuk dapat bersaing dengan perusahaan asing.

"Contohnya saja perusahaan saya, yang tidak bisa lari ke customer perusahaan yang berada di atas sekali. Karena kelas mereka pasti didominasi oleh perusahaan software dari luar," tukas Indra.

Untuk mengakalinya, Indra mengaku harus membawa perusahaannya ke sektor perusahaan menengah atas, tetapi tidak bisa yang terlalu atas. "Jadi ke bawah susah, ke atas benar pun juga susah," ujarnya.

Kurangnya para pakar di Indonesia dianggap Indra, juga sebagai suatu yang wajar mengingat peluang untuk lebih mengembangkan diri yang lebih besar di negara lain dibanding di Indonesia.

"Jadi bukan karena orang Indonesia-nya yang tidak mampu, hanya mereka lebih memilih ke luar negeri dengan tawaran gaji dan opportunity yang lebih bagus karena industri ini di Indonesia yang tidak berkembang," kata Indra.

Mengingat kondisi di atas, pemerintah diharapkan menyediakan modal ventura bagi para pengembang software lokal untuk menjalankan bisnis mereka.

"Di Indonesia sebenarnya juga sudah ada, tetapi masih pakai jaminan sama seperti Bank. Atau ada juga yang memberi alasan software tidak masuk kategori mereka atau alasan lainnya," Indra menandaskan.

No comments: